Dari sudut pandangan agama, pemerintahan Indonesia adalah sah.
Pandangan ini didasarkan pada dua dalil. Yaitu: pertama, presiden Indonesia
dipilih langsung oleh rakyat. Menurut Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wan Nihayah (2001:204), sistem pemilihan langsung oleh
rakyat sama dengan pengangkatan Sayyidina Ali karamullah wajhah untuk menduduki
jabatan Khalifah.
Kedua, presiden terpilih Indonesia dilantik oleh MPR, sebuah
gabungan dua lembaga tinggi, DPR dan DPD yang dapat disepadankan dengan ahlu a-halli wa al-‘aqdi dalam konsep al-Mawardi dalam Al-Ahkam as-Sulthoniyah.
Keabsahan pemerintahan Indonesia bukan hanya dapat dilihat dari
sudut sistem pemilihan dan mekanisme pelantikan presiden saja, namun juga bisa
dilihat dari terpenuhinya maqashidu
al-syari’ah (tujuan syar’i)
dari imamah (pemerintahan) Indonesia, dalam rangka
menjaga kesejahteraan dan kemashlahatan umum. Terkait dengan ini, Imam
al-Ghazali mengungkapkan dalam Al-Iqtishad fil ‘Itiqad (1988:147), menyatakan, “Dengan
demikian tidak bisa dipungkiri kewajiban mengangkat seorang pemimpin (presiden)
karena mempunyai manfaat dan menjauhkan mudharat di dunia ini”.
Dalam konteks ini, pemerintahan Indonesia telah memenuhi tujuan
syar’i di atas dengan adanya institusi pemerintahan, kepolisiaan, pengadilan dan
lain sebagainya. Alhasil, menurut Ahlussunnah wal Jama’ah, pemerintahan
Indonesia adalah pemerintah yang sah. Siapa pun tidak bisa
mengingkarinya.
Karena itu, mengkonversi sistem pemerintahan dengan sistem apa pun,
termasuk sistem khilafah sentral dengan memusatkan kepemimpinan umat Islam di
dunia pada satu pemimpin, adalah tidak diperlukan. Apalagi jika konversi sistem
itu akan menimbulkan mudharat yang lebih besar. Seperti timbulnyachaos dalam bidang sosial, politik, ekonomi
dan keamanan. Lantaran, timbulnya kevakuman pemerintahan atau pemerintah yang
tidak mendapatkan dukungan rakyat luas, sehingga membuka peluang perang saudara
antar anak bangsa. (Imam al-Ghazali Al-Iqtishad Fil ‘Itiqad,
1988:148)
Terlebih, mendirikan khilafah mendunia terbantahkan oleh
dalil-dalil berikut ini: Pertama, khilafah mendunia tidak memiliki akar dalil
syar’i yang qath’i. Adapun
yang wajib dalam pandangan agama, adalah adanya pemerintahan yang menjaga
kesejahteraan dan kemashlatan dunia. Terlepas dari apa dan bagaimana sistem
pemerintahannya. Karena itu, kita melihat para ulama di berbagai negara di
belahan dunia memperbolehkan, bahkan tak jarang yang ikut terlibat langsung
dalam proses membidani pemerintahan di negaranya masing-masing. Beberapa contoh
kasus dari sistem pemerintah di jaman klasik, antara lain: Daulah Mamalik di
Mesir, Daulah Mungol di India, Daulah Hafshiyyah di Tunis, dan lain
sebagainya.
Kedua, persoalan imamah dalam pandangan Ahlussunnah wal Jama’ah
bukanlah bagian dari masalah aqidah, melainkan termasuk persoalan siyayah syar’iyyah atau fiqih mu’amalah. Karena itu, kita
boleh berbeda pendapat dalam soal sistem pemerintahan, sesuai dengan kondisi
zaman dan masyarakatnya masing-masing dalam mempertimbangkan mashlahah dan
mafsadah dari sistem yang dianutnya tersebut.
Ketiga, membentuk pemerintahan agama di suatu daerah, akan membunuh
agama itu sendiri di daerah lain. Menegakkan Islam di suatu daerah di Indonesia,
sama halnya dengan membunuh Islam di daerah-daerah lain seperti di Irian Jaya,
di Flores, di Bali dan lain sebagainya. Daerah basis non Islam akan menuntut hal
yang sama dalam proses penegakkan agamanya masing-masing. Bentuk negara nasional
adalah wujud kearifan para pemimpin agama di Indonesia, tidak ingin terjebak
pada institusionalisasi agama, sebagai tuntutan dari otonomi daerah.
Keempat, masyarakat masih belum siap benar untuk melaksanakan
syari’at Islam secara penuh, terutama untuk menerapkan hukum pidana Islam.
Seperti bagi pezinah dirajam, pencuri dipotong tangan, sanksi bagi yang tidak
melaksanakan sholat dan zakat, dan seterusnya. Penerapan syari’ah Islam secara
penuh tanpa mempertimbangkan kesiapan umat Islam akan menyebabkan banyak umat
Islam yang tidak mengakui sebagai seorang muslim karena takut terhadap sanksi
hukum tersebut. Jumlah 90 persen umat Islam akan mengalami penurunan secara
drastis. Sehingga penerapan itu justru merugikan umat Islam sendiri.
Kelima, sulitnya mencari tolok ukur apakah yang dilakukan oleh
seorang khalifah itu merupakan suatu langkah politik atau sekedar pelampiasan
ambisi kekuasaan, atau itu memang benar-benar melaksanakan perintah Allah ketika
terjadi kekerasan dari khalifah yang berkuasa terhadap para ulama sebagaimana
dialami oleh imam madzhab yang empat: Imam Maliki, Imam Abu Hanifah, Imam
Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal dan para pengikut mereka. Sejarah mencatat tidak
sedikit dari para ulama yang mendapat perlakuan zalim, diborgol, dipenjara, dan
dianiaya, sementara khalifah dalam menjalankan hukuman tersebut melakukannya
atas nama agama. Jika demikian yang terjadi maka sudah pasti ulama nahdliyyin
akan memenuhi penjara-penjara di seluruh wilayah Indonesia.
Keenam, jika memang disepakati ide formalisasi syari’ah, maka teori
syari’ah manakah yang akan diterapkan.Apakah model Wahabi di Saudi Arabia yang
memberangus ajaran-ajaran sebagaimana diamalkan oleh kaum nahdliyyin seperti
tawassul, tahlil, talqin, dan lain sebagainya atau sistem Syi’ah yang telah
membunuh ratusan ulama dan umat Islam, menghancurkan masjid-masjid Ahlus Sunnah
sebagaimana yang terjadi di teluk Persi, di bagian wilayah Timur Tengah, atau
belahan lain di dunia ini, dan pemerintah yang berkuasa melakukan semua itu,
lagi-lagi, atas nama agama. Jika itu yang terjadi, niscaya warga Nahdliyyin akan
akan menjadi korban dari pemerintah yang berbeda aqidah tersebut.
Dalil-dalil di atas kian meyakinkan bahwa cita-cita untuk
mendirikan khilafah islamiyah akan membawa konsekuensi tersendiri bukan hanya
menyangkut tampilan wajah Indonesia tetapi juga kondisi masyarakat yang akan
diwarnai oleh konflik dan disistensi dari elemen bangsa yang lain.
Dengan mempertimbangkan pendapat dari Imam al-Ghazali dan
al-Baidlawi maka mengkonversi sistem pemerintahan yang ada tidak diperbolehkan
menurut syara’, mengingat besarnya ongkos sosial, politik, ekonomi, dan keamanan
yang harus ditanggung oleh pemerintah dan masyarakat. Dalam pandangan ahlusunnah
wal jama’ah menghindari mudharat lebih utama dari pada menerapkan kebaikan.
Karena itu, menghindari mudharat yang besar lebih kita utamakan dari pada
mendapat sedikit kemaslahatan. Sebaliknya, tidak mendapatkan sedikit kebaikan
untuk menghindari mudharat yang lebih besar merupakan sebuah bentuk kebaikan
yang besar.
Jadi, sistem pemerintahan di dalam pandangan agama bukan sistem
untuk sistem melainkan sistem untuk umat. Sehingga sistem apapun yang dianut
oleh umat di dalam memenuhi tujuan syar’i dari pemerintahan tidak boleh
menimbulkan kerusakan yang mengancam keselamatan jiwa dan harta umat. Sebab
sejatinya menurut Imam al-Ghazali, pemerintahan itu didirikan untuk menata umat,
agar kehidupan agama dan dunianya aman sentosa dari ancaman dari dalam maupun
dari luar (Al-Iqtishad Fil ‘Itiqad, 1988:147).
Senada dengan Imam al-Ghazali di atas, al-Baidlawi juga
berpandangan bahwa esensi dari pemerintahan adalah menolak kerusakan dan
kerusakan itu tidak dapat ditolak kecuali dengan pemerintahan tersebut. Yaitu
sebuah pemerintahan yang menganjurkan ketaatan, mencegah kemaksiatan, melindungi
kaum mustad’afin, mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi semua. Esensi dari
pemerintahan itu menurutnya adalah keharusan profetik dan intelektual dalam
menjaga kedamaian dan mencegah kerusakan dunia (Lihat misalnya dalam
Al-Baidlawi, Thawali’ al-Anwar wa
Mathali’ al-Andlar, 1998: 348).
KH. MA Sahal Mahfudz menyatakan sikap NU pada saat khutbah iftitah
Munas Alim Ulama dan Konbes NU di Sukolilo Surabaya, 28 Juli 2006: ”NU juga
sejak awal mengusung ajaran Islam tanpa melalui jalan formalistik, lebih-lebih
dengan cara membenturkannya dengan realitas secara formal, tetapi dengan cara
lentur. NU berkeyakinan bahwa syari’at Islam dapat diimplementasikan tanpa harus
menunggu atau melalui institusi formal. NU lebih mengidealkan substansi
nilai-nilai syari’ah terimplementasi di dalam masyarakat ketimbang
mengidealisasikan institusi. Kehadiran institusi formal bukan suatu jaminan
untuk terwujudnya nilai-nilai syari’ah di dalam masyarakat”.
Dalam kaitan ini, sikap NU jelas, keinginan untuk mengkonversi
sistem pemerintahan, tidak memiliki akar syara’, malahan bertentangan dengan
serangkaian hasil ijtihad para ulama NU yang dirumuskan di berbagai institusi
pengambilan keputusan dan kebijakan tertinggi organisasi. Bagi NU, Pancasila,
UUD 1945 dan NKRI adalah upaya final umat Islam Indonesia dalam mendirikan
negara dan membentuk pemerintahan.
www.nu.or.id