Memasuki bulan Februari, kita menyaksikan banyak media massa,
mal-mal, pusat-pusat hiburan, hotel melati hingga berbintang sedang
bersibuk ria berlomba-lomba menarik para remaja dengan menggelar pesta
perayaan. Melakukan semua hal yang di anggap “romantis”, mulai dari
sekedar mengucapkan rasa sayang, berkirim kartu, memberi bunga, sampai
pada ‘kegiatan’ yang lain. Puncaknya, pada tanggal 14 Februari yang
biasa kita kenal dengan Valentine’s Day. Entah dari mana sumbernya hari
yang katanya sebagai simbol kasih sayang itu. Ibarat hadits, sanadnya
pun tidak jelas.
Terlepas dari itu semua, sesungguhnya kita sudah diajari romantisme yang benar-banar tulus dari hati oleh kiai-kiai NU.
Misalnya,
dicontohkan pendiri Nahdatul Ulama, Hadratusyeikh KH Hasyim Asy’ari.
Bagini ceritanya, pada suatu hari, Nyai Khoiriyah istri Hadratussyeikh
KH Hasyim Asy’ari tidak tahu apa sebabnya ngambek kepada sang kiai.
Tiba-tiba saja Nyai Khoiriyah mengambil sebuah stagen (korset
tradisional terbuat dari kain yang panjang) dan mengikatnya ke tubuh
Kiai Hasyim yang sedang duduk di atas kursi.
Tanpa
sepatah kata pun Mbah Hasyim hanya senyum-senyum dan manut dengan
perlakuan istrinya itu. Hadratussyeikh tidak ingin membuat sang istri
kecewa atau mungkin agar kemarahan istrinya cepat reda. Selang beberapa
menit, Nyai Khoiriyah bertanya, “Apakah bapak selalu menyebut namaku di
setiap doa bapak?” Dengan lembut Mbah Hasyim menjawab, ”Tentu saja. Ibu
adalah bagian dari hidupku. Jadi tidak mungkin jika aku tak menyebut
namamu di setiap doaku.”
Bagitulah kira-kira
jawaban Mbah Hasyim yang dikenal dengan segala kewibawaan nan keramat,
ternyata juga punya sisi romantis kepada istrinya.
Lain
lagi dengan kisah Gus Dur, Sinta Nuriyah pernah bercerita tentang satu
momen romantis bersama Gus Dur semasa hidup. Pada suatu kesempatan,
sekitar tahun 1970, Gus Dur dan Sinta sedang pergi berdua menumpang
becak sebagai salah satu pilihan alat transportasi yang umum digunakan
masyarakat kala itu. Di tengah perjalanan ternyata hujan turun. Meski
tidak terlalu deras, si pengemudi becak berinisiatif menutup seluruh
tempat penumpang dengan plastik layaknya fasilitas yang dipunya becak
pada umumnya. Bukan hanya bagian depan, sisi samping dan belakang juga
ditutup dengan plastik warna transparan.
Tiba-tiba,
di tengah jalan, Gus Dur mencium istrinya itu. Sontak, mendapati ciuman
tersebut ibu empat anak itu bereaksi. Kepada Gus Dur, Sinta
mengingatkan, ada tukang becak tepat di belakang yang mungkin saja masih
bisa melihat. Apa jawab Gus Dur? “Biar saja, biar dia kepingin,”
ucapnya sambil tertawa.
Tidak hanya itu, meski
Gus Dur adalah cucu dari pendiri NU dan anak mantan menteri Agama,
ternyata di masa awal-awal pernikahan, semua dilaluinya dengan kehidupan
yang sangat sederhana dan serba pas-pasan. Tiap harinya Gus Dur
memiliki pekerjaan yakni memasukkan kacang ke dalam tiap kantung
plastik, dan Sinta Nuriyah bertugas menutupnya dengan menggerakkan
bagian atas kantung dengan lilin yang menyala. Setelah semua selesai
dibungkus, dengan berbekal sepeda, Gus Dur membonceng Sinta untuk
mengantarkan semua bungkusan itu ke warung-warung strategis di segenap
kota. Sinta tidak pernah malu, menjalani dengan senang hati semua itu,
hingga beberapa tahun selanjutnya tanpa disangka bisa menemani Gus Dur
sampai menjadi Presiden Republik Indonesia.
Tidak
heran jika Sinta pernah mengatakan di salah satu program televisi
nasional, ”Gus Dur itu sosok panutan yang berhasil membawa bahtera rumah
tangga kebahagiaan. Karenannya, menjadi istri Gus Dur dalam suasana apa
pun itu enak. Mau jadi presiden, mau jadi Ketua PBNU, mau jadi orang
biasa yang serba pas-pasan, tidak ada bedanya. Saya sangat bangga
menjadi istri Gus Dur,” ucapnya dengan menahan air mata.
Bagi
Anda wanita salihah mungkin bisa meniru kesabaran dan ketulusan cinta
Sinta Nuriya ini hingga mengantarkan lelaki yang Anda sayang di puncak
karirnya. (Muhammad Faishol)
http://www.nu.or.id/post/read/75398/romantisnya-hadratussyekh-kh-hasyim-asyari-dan-gus-dur-