Di Indonesia, kegandrungan menggunakan gelar akademik
seperti tak terbendung. Utamanya di kalangan pegawai negeri. Kita
terkadang heran, seseorang yang masih bekerja dan belum pernah diberi
tugas belajar tahun-tahun di depan atau di belakang namanya tertera gelar
akademik. Entah setingkat lulusan Strata-1, Strata-2 maupun
strata-3, dengan singkatan SH, S.Si, SP, S.IP atau MM, MH, MT, M.Si,
bahkan Dr, dst.
Tentu saja kalau yang bersangkutan telah belajar di UT
(Universitas Terbbuka) bisa dimaklumi. Tapi kalau di UT tidak,
Perguruan Tinggi reguler juga tidak, lalu dari mana gelar itu? Apa tidak
malu menggunakan gelar akademik
tanpa pernah mengenyam pendidikan tinggi (PT) apa pun?
Sepertinya dengan adanya gelar di depan atau di belakang
nama, si empunya merasa lebih pintar, lebih berkualifikasi, atau
lebih kompeten daripada rekan kerjanya yang gelarnya lebih rendah atau
tak punya. Maka setiap menulis nama pun, termasuk di surat undangan
kondangan, pernikahan, atau di tembok, gelar akademik selalu
dicantumkan. Tak jarang ada yang marah bila namanya ditulis tanpa disertai
gelar. Sekalipun sesungguhnya tidak relevan.
Ketentuan Undang-undang Sudah sejak lama ada Peraturan Pemerintah tentang
pemakaian gelar akademik, termasuk lembaga yang berwenang memberikannya.
Terbaru diatur dalam UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Pasal 28 ayat (1) menyebutkan bahwa “Gelar akademik, gelar vokasi, atau
gelar profesi hanya digunakan oleh lulusan dari Perguruan Tinggi yang
dinyatakan berhak memberikan gelar akademik, gelar vokasi, atau
gelar profesi.” Pada ayat (2) ditegaskan bahwa gelar akademik tersebut
hanya dibenarkan bila diberikan oleh PT terakreditasi.
Jika ada yang nekat memakai gelar dari PT tak
terakreditasi, maka dinyatakan tidak sah dan dicabut oleh Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan. Larangan tentang
ini telah ditegaskan pada Pasal 28 ayat (6) dan (7) UU No 12 tersebut.
Dikatakan, “Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara Pendidikan Tinggi yang tanpa hak dilarang
memberikan gelar akademik, gelar
vokasi, atau gelar profesi. Perseorangan yang tanpa hak dilarang
menggunakan gelar akademik, gelar vokasi, dan/atau gelar profesi.”
Hal serupa berlaku bagi pemakai ijazah atau sertifikat
dan lembaga yang menerbitkan ijazah atau sertifikat. Seseorang yang nekat
menggunakan ijazah atau sertifikat dari PT yang tak terakreditas atau
tak berhak menerbitkannya, maka ijazah dan sertifikat itu tidak sah. Demikian juga yang memakai gelar dan ijazah dari hasil plagiasi dalam
menulis skripsi atau tesis. Gelar dan ijazah tersebut tidak sah dan dilarang
dipakai. Sebab hal itu terkait dengan kompetensi dan kapabilitas
layanan kepada publik, utamanya kalau yang bersangkutan bekerja di
sektor publik atau yang terkait dengan kepentingan masyarakat (lihat Pasal
42, Pasal 43, dan Pasal 44 UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan
Tinggi).
Bukan itu saja. Perorangan yang memakai gelar yang tak
legal itu serta lembaga yang menerbitkannya, dapat ditindak secara
pidana. Pasal 93 UU No 12 tersebut menegaskan, bahwa perseorangan,
organisasi, atau penyelenggara PT yang melanggar pasal-pasal di atas
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Tidak menggambarkan Kapasitas Mungkin ada yang bertanya, kalau tidak ditulis di depan
atau belakang nama, untuk apa susah-susah sekolah sampai lulus PT?
Pertanyaan ini tentu saja salah. Sebab orang sekolah, belajar, bukan
untuk mendapatkan gelar maupun ijazah. Tujuan orang sekolah, belajar,
adalah membentuk dan menyempurnakan
diri. Ya sikap, mental, pengetahuan, ketrampilan, maupun kepribadian secara
keseluruhan. Itulah sebabnya para ahli didik menyebut bahwa belajar itu merupakan proses yang
berlangsung terus seumur hidup. Mengapa demikian? Karena dalam kurun waktu
tertentu, tak seorang pun yang pernah mencapai kesempurnaan dalam
bentuk sikap, mental, ketrampilan, dan kepribadian.
Bahwa gelar dan ijazah perlu, tentu tak terbantahkan.
Tapi itu hanya sebatas pembuktian administasi tentang sebuah proses
formal di lembaga PT. Tak lebih dari itu. Hal ini diperlukan untuk
menyatakan bahwa seseorang telah belajar di PT A atau B. Karena itu ia
diberi ijazah C atau D dan dianggap layak atau kapabel untuk tertentu.
Maka kalau menulis nama terkait dengan pekerjaan atau jabatan
tersebut, relevan ditambahkan gelar. Lainnya, tentu tidak. Seorang dokter,
tak relevan menulis dr di depan namanya ketika nama-nama penyumbang
sembako ditulis di Balai Desa. Lain halnya kalau ia menulis resep untuk
pasien. Gelar
dr. Perlu ia cantumkan sebagai bukti administrasi bahwa
ia telah lulus dari pendidikan kedokteran dan ia dianggap memiliki
kapasitas, otoritas, keilmuan
memberikan resep.
Perlu diingat bahwa gelar dan ijazah tak pernah
memberikan bukti material yang terukur tentang tingkat sikap, mental,
pengetahuan, ketrampilan, dan kematangan kepribadian seseorang.
Sekalipun Anda memiliki nilai 100 atau A untuk semua mata kuliah dengan
predikat summa cum laude, dengan tulisan tinta emas di ijazah, tidak
akan pernah bisa
menyatakan bahwa Anda lebih sempurna daripada mereka yang
hanya lulus sekolah yang lebih rendah dari PT. Dalam bidang apa pun
terkait dengan kehidupan sosial dan pekerjaan sesuai dengan posisi
masing-masing.
Banyak yang telah membuktikan hal itu. Bill Gate yang
gagal kuliah di Harvard merupakan fakta nyata yang membuktikan bahwa ia
lebih hebat dari sejumlah doktor
terbaik yang pernah lulus dari Harvard. Di samping kita, Dahlan Iksan dan Jokowi adalah orang yang
membuktikan diri memiliki hampir semua hal walaupun tidak memiliki gelar
Magister atau doktor.
Maka celakalah negara kita kalau banyak pegawai negeri
yang memburu ijazah dengan harga jutaan rupiah hanya untuk mendapatkan
posisi atau pangkat tertentu. Bukankah ini menjadi bahan tertawaan
manakala tidak dapat mengerjakan tugas pada jabatan sesuai dengan gelar
dan ijazahnya? Bukankah tindakan ini merupakan penipuan yang sulit
dimaafkan, oleh diri
sendiri sekalipun